Pertama Kali Bertemu Anies Baswedan
Sebetulnya yang mau aku ceritakan sekarang bukan pertemuan yang pertama. Dulu tahun 2012, aku sudah pernah bertemu Pak Anies di kantor Indonesia Mengajar. Seingatku, aku di sana untuk rapat Kelas Inspirasi pertama. Tiba-tiba Mas Hikmat Hardono memanggilku ke ruang sebelah, ada Pak Anies di sana. Ya, lalu kami bersalaman, menukar sedikit informasi bahwa aku guru lalala… Lalu sudah, begitu saja.
Berikutnya, kalau pun bertemu lagi hanya bisa melihat dari kejauhan. Maklum, fans beliau ini buanyak. Apalagi setelah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014-2016), makin seringlah dia dikerubuti banyak orang.
Nah, aku cerita pertemuan kedua ya. Ada bagian rahasia serunya. Jadi gini…
Jumat, 26 Agustus, aku nonton pentas teater Bunga Penutup Abad di Gedung Kesenian Jakarta. Aku duduk di barisan A, paling depan. Makanya aku bisa dapat gambar di atas. Usai acara, seperti biasa, banyak orang menyerbu ke arah panggung. Mencoba ingin bersalaman dengan artis. Aku kejar Mbak Astuti Ananta Toer, menyapa dan menanyakan kabarnya, lalu juga minta foto bersama. Setelah itu, aku lihat ada Mas Kreshna Aditya di atas panggung. Menunggu Pak Anies sepertinya. Aku hampiri dan sapa dia.
Nah, lalu Mas Kreshna bercerita satu rahasia. Kira-kira dialognya begini… “Kamu tahu kan, Anies diminta tampil untuk acara Teras Budaya: Merayakan Chairil Anwar yang diselenggarakan Tempo, 15 Agustus 2016 lalu. Nah, saat butuh referensi bagaimana cara membaca puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”, aku carikan contoh video di youtube. Lalu, ketemu video kamu. Lalu, Pak Anies belajar lewat video kamu itu.”
Aku saja hampir lupa, aku pernah baca puisi itu dan kuposting di youtube. Hihi, video yang diproduksi zaman jomblo (Sudah seharusnya jomblo itu berkreasi dan berproduksi). Lihat sendiri deh di sini: https://www.youtube.com/watch?v=xFy05ttEkiw
Aku yang tadinya nggak niat khusus menyapa (maklum, malas rebutan dengan hadirin dan wartawan sudah antre mau wawancara dia), langsung jadi kepikiran untuk mengkonfirmasi cerita Mas Kreshna tadi. Begitu ada kesempatan, langsung kusamber.
Aku tanya kebenaran cerita Mas Kreshna ke beliau.
“Beneran, Pak?”
“Ya, yang itu: Yang Terampas dan Yang Putus.”
Aku cuma bisa cengengesan.
Dia lalu tambahkan, “You inspire me.”
Parah, ini Bapak emang paling jago bikin orang ge-er, pikirku.
Karena situasi semakin ramai, banyak yang ajak dia salaman dan berfoto juga. Ya sudah aku juga sekalian minta foto. Lalu aku pulang. Di perjalanan aku terkagum-kagum: Benar bahwa kita bisa belajar dari siapa pun. Yang tua pun bisa belajar dari yang muda. Tak perlu ada malu, malah memuji tak perlu ragu.
*Foto 2 & 3 oleh Kreshna Aditya
Seujung Kuku Guru Zirah
Pada suatu hari saya membagi info tentang lomba video pendek dari Kemdikbud. Saya share di Twitter dan Line. Murid-murid biasanya lebih update di Line sih, jadi saya post begini di timeline.
Ada yang memberi jempol, cuma satu orang. Ada juga yang nulis komen. Eeh komennya macam begini.
Sebetulnya normal banget ya murid laki-laki “menggoda” guru perempuannya. Remaja ya umurnya puber, lagi belajar menarik perhatian lawan jenis. Bosan menggoda teman seumuran, kadang mereka menguji diri, bisa nggak atau berani nggak menggoda wanita dewasa. Bentuknya bisa sekadar bercanda sederhana, tapi bisa juga kelepasan jadi serius. Pernah dengar kan ada murid yang serius ‘nembak’ gurunya?
Pertanyaannya kemudian, kok bisa sih mereka berani menggoda saya? Apa saya seunyu itu? Apa saya seseksi Guru Zirah favorit murid badung macam Iwan Fals? Hehee, nggak lah. Bodi saya nggak montok. Cuma seujung kukunya Zirah.
Buat yang belum tahu lagu “Guru Zirah”, ini liriknya.
Dia cantiknya guru muda kelasku
Zirah namamu asli cangkokan Jawa
Busana biasa saja
Ramping kau punya pinggang
Tahi lalatmu genit nangkring di jidat
Goda batinku kilikitik imanku
Pantatmu aduhai
Bagai salak raksasa
Merah bibirmu bukan polesan pabrik
Mulus kulitmu tak perlu lagi ke salon
Betismu bukan main
Indah bak padi bunting
Tidur pun aku tak nyenyak
Sebelum aku sebutkan
Namamu
Guru Zirah bodi montok
Rasanya ingin punya bank
Tuk traktir engkau seorang
Impianku
Guru Zirah bodi montok
Baru melihat kaki ibu melangkah
Hati di dalam dag dig dug mirip beduk
Apalagi he he he
Tak kan kuat ku berdiri
Zirah guruku ibu manis bak permen
Berilah les privat agar otakku paten
Hadiahku tas plastik
Boleh pesan di butik
Tidur pun aku tak nyenyak
Sebelum aku sebutkan
Namamu
Guru Zirah bodi montok
Rasanya ingin punya bank
Tuk traktir engkau seorang
Impianku
Guru Zirah VeWe Kodok
Kalau setuju kita bolos sehari
Bohong sedikit mungkin Tuhan tak marah
Asmara tak bedakan
Aku murid kau guru
Kebun binatang lokasi yang ideal
Murah meriah ongkos buat pacaran
Ku tahu gaji ibu
Hanya cukup untuk beli tahu
Tidur pun aku tak nyenyak
Sebelum aku sebutkan
Namamu
Guru Zirah bodi montok
Cerita 4 Mei Tahun Ini
Seumur-umur belum pernah merasa sedih saat ulang tahun. Meskipun nggak pernah selalu ada acara khusus, tanggal ultah biasanya aku sambut bahagia. Selalu ada aja keluarga, kumpulan teman, atau murid satu kelas yang membuat tanggal itu jadi raya.
Tahun ini beda. Rasa sedih mulai menekan sejak awal bulan. Entah, rasanya kali ini benar-benar baru melepas masa remaja. Bhay 30, welcome 31. Ada banyak ketakutan dan kecemasan yang datang. Ada banyak keinginan yang dibarengi penderitaan. Ngerti sih teorinya, hidup harus dibawa bersyukur, harus banyak ikhlas, harus banyak bahagia di pikiran, tapi… melaksanakan segala teori itu tidak mudah. Oke, niat bisa kencang di hari ultah, tapi membuatnya kencang sepanjang tahun berjalan itu yang susah.
Lalu, pagi tanggal 3 Mei, aku dipeluk suami. Dia tanya aku mau apa buat ultah besok. Aku cuma bisa jawab dengan tangis. Pagi itu aku datang bulan lagi. Kami berdoa dalam hati masing-masing, dan ditutup dengan ucapannya, “Sabar ya…”
Lalu, pagi ini tanggal 4 Mei. Haru datang lagi ketika buka Fb notifikasi, ada pesan dari murid alumni di negeri seberang. Pengingat lagi bahwa Bapak pernah kasih aku nama sekeren ini.
Lalu subuh pesan singkat dari Bapak datang. “Mengenang peristiwa anak manusia yang lahir di dunia sekarang sudah dewasa. Selamat semoga sehat, selalu murah rizki, doa orang tua selalu mengiringi.” Tangis pecah lagi. Setelah dapat pengingat-pengingat itu, aku yang tadinya mau break berobat kandungan yang sudah jalan dua tahun ini, jadi kembali yakin untuk meneruskan. Oke, sore nanti datang ke dokter obgyn lagi.
Lalu, pagi ini, di ruang kantor guru, nangis lagi ketika ada rekan departemen Bahasa Indonesia yang mengucapkan selamat ulang tahun. Nangis yang beneran nangis! Mereka bingung karena aku dikenal tukang nyengir di sekolah. Sampai akhirnya dipeluk seorang guru Biologi perempuan, yang kepadanya aku harus bercerita dan berguru, bagaimana bisa tegar dan tabah menghadapi hasrat punya bayi. Yeah, hari melodrama.
Lalu, begitu sampai kelas untuk CA time (jam wali kelas), ruang kelas gelap, tidak ada satu pun muridku di sana. Ah, becanda nih. Emang masih jaman ya bikin surprise yang bikin kesel orang yang lagi ultah? Sampai aku kirim pesan di grup line: “I have bad day and you all make it worst.” KZL! Lalu aku balik ke ruang guru, dan mereka mengejar. Takut takut ketuk pintu, dan ternyata satu kelas datang bawa kue berlilin dan bunga. Ya lalu nangisku kembali PETJAH! Gemes-gemes gimana gitu lho. Mengutip apa kata salah satu murid paling ndregil, “sebandel-bandelnya kita, masih inget dong kapan tanggal ultah CA (wali kelas)nya!” Iya, iya, bisaan. :’)
Itu tadi tangis ke berapa ya? Setelah itu badan capek banget. Kayak habis olahraga, lari pagi keliling kampung Lengkong Karya. Tapi hari ini masih panjang. Tahun ini juga masih panjang. Semoga semangat “HAPPY” di kata happy birthday itu selalu ada. ❤
That awkward moment when…
your student suddenly ask you, “Miss, miss mantannya sodara aku ya?”
Spicles banget nggak lo kalo tau-tau ada anak murid ngomong gini. Baru aja keluar kelas di hari Senin, ada murid cewe melintas dan menanyakan itu. Dia sebutlah nama satu lelaki. Ugh, nama yang paling nggak mau saya dengar lagi. Udah dibuang ke tempat sampah, kok tau-tau kembali?
Di waktu singkat itu, nih murid berceritalah, weekend kemarin dia ada acara keluarga, trus salah satu sepupunya nanya apa ada guru bernama Arnellis di sekolahnya. Si murid bilang iya. Trus sepupunya itu ngaku mantan pacar saya.
Demi terlihat cool, saya cuma bilang, “Ohh, kamu sodaranya?” Lalu lempar senyum dan segera berlalu sambil sok ketawa-ketawa. Padahal dalam hati, oh no, ini murid pegang kartu saya banget. Sambil sebel sama dunia, kenapa sih masa lalu sering kembali hadir tanpa disengaja?
Dear Diary, aku kecewa di FestivalGIM…
5 Oktober 2013
Dear Diary,
Tadi sore aku pulang dari acara Festival Gerakan Indonesia Mengajar dengan hati kecewa. Jauh-jauh aku datang dari Depok, menempuh jalanan macet dengan angkutan umum selama tiga jam, rupanya aku tidak bisa membawakan dongeng yang sudah kupersiapkan. Aku datang ke acara itu karena sudah diundang oleh Asti, salah satu Pengajar Muda yang jadi panitia. Dia mengajakku untuk ikut serta #KerjaBakti di Teater Dongeng. Dia tahu aku punya kegiatan Dongeng Minggu yang sudah berjalan 3 tahun itu. Aku berterima kasih sekali pada Granasti yang sudah mengapresiasi dengan manis, jadi kuiyakan tawarannya dan mengajak Wulan temanku untuk ikut serta.
Acara FestivalGIM sebetulnya sangat mengagumkan. Ini wadah yang pas buat orang kota (Jakarta dan sekitarnya) untuk menyumbang sesuatu untuk pendidikan anak-anak di luar Jawa. Ya, aksi sosial mereka bisa dengan mudah dilihat di timeline twitter. Oya, ada 10 wahana yang bisa dipilih peserta KerjaBakti. Misalnya, menulis surat semangat untuk anak-anak nusantara, membuat Kartupedia berisi rangkuman pengetahuan, atau merekam lagu anak dan daerah. Terlihat seru ya! Aku sendiri suka dengan kelas orientasi di ruang selamat datang yang sangat bagus untuk membarakan semangat peserta. Dan memang terlihat antuasiasme peserta begitu besar. Ya, ini semua sebuah kemasan gaya beramal yang menarik.
Ya, gitu deh Diary, pas aku datang di kelas Teater Dongeng, aku disambut seorang panitia perempuan berkerudung abu-abu. Dia menjelaskan sedikit teknisnya dan langsung persilakan aku dan Wulan untuk mendongeng. Aku bertanya, apa boleh aku menaruh naskah di dekat kamera. Maklum, aku dan Wulan kelelahan kena macet perjalanan sehingga butuh waktu mikir ekstra. Si panitia yang tak kutahu namanya itu bilang dengan nada bicaranya yang terkesan angkuh: “Saya sarankan sih nggak usah pakai naskah, improvisasi aja. Naskah itu bisa mengganggu. Ya kalau pernah atau biasa mendongeng sih tahu ya.” Aku dan Wulan hanya bilang “ya…” sambil teringat anak-anak Dongeng Minggu.
Ruang K1 yang ditunjuk panitia untuk tempatku mendongeng rupanya masih penuh. Maka, aku gabung saja ke ruang K2 yang diperbolehkan jadi tempat Wulan. Dia tengah Wulan mendongeng, eh… Juru Kamera bilang memory-cardnya penuh. Jadi Wulan mesti berhenti sebentar. Dia mengutak atik, lalu persilakan kami melanjutkan. Di tengah kami mendongeng lanjutan, video berhenti lagi, mediacard betul-betul penuh. Dia minta maaf, bilang dia akan mentransfernya dulu. Ya sudah, Wulan dan aku terpaksa harus menunggu. Panitia (Sari) minta maaf dan menemani kami di ruang dongeng K2. Ruang sebelah K1 masih terisi pendongeng lain. Ya sudah, aku, Wulan, dan Sari mengobrol. Sudah jam setengah lima lewat (mungkin 04.50). Aku tanya lagi kenapa lama betul mentransfernya. Akhirnya salah satu panitia lelaki kasih ide, ya sudah pakai kamera lain aja, tapi dongeng mesti diulang dari awal, karena biar tidak merepotkan panitia ketika mengedit. Mereka minta maaf. Wulan dan aku tak masalah, lalu mendongenglah kami.
Pas selesai dongeng Wulan, kami keluar. Ruangan K1 pintunya masih tutup. Aku bermaksud menunggu dan menyiapkan boneka dongeng, tapi si panitia perempuan berkerudung abu-abu itu bilang: “Maaf ya kelasnya ditutup. Selesai. Karena mau upacara penutupan.” Aku bilang: “Yah, saya kan belum mendongeng.” Saat itu jam 5 sore. Dan aku bilang aku bisa mendongeng 5 menit saja, menggunakan hak tiket yang sudah kudapat. Tapi si Panitia itu bilang dengan tegas: “Maaf harus selesai ya. Karena mau upacara di bawah.”
Aku protes: “Tadi panitianya lama, habiskan waktu untuk transfer data dan kami disuruh menunggu.” Si Panitia Abu-abu itu bilang: “Lagian nggak datang dari jam 9 pagi.” Kaget. Aku balas bilang: “Bukan masalah datang dari pagi atau enggak, tadi panitia lama jadi jatah waktunya terbuang.” Si Panitia itu menyahut lagi: “Ya tapi nggak datang dari 9 pagi, kan. Maaf ya.” Kecewa, aku bereskan boneka yang tak terpakai, dan beranjak pergi. Wulan temanku bertanya-tanya kenapa si Panitia bisa-bisanya memberi jawaban ketus begitu. Dikira setiap orang bisa dan harus datang sejak pagi tanpa punya urusan lain yang mesti dikerjakan lebih dulu?
Begitu kami keluar dari bilik dongeng, sampai di area lain, rupanya masih banyak peserta KerjaBakti yang masih beraktivitas, belum bubaran untuk menuju upacara. Aku kemudian mengecek jadwal acara, rupanya upacara dilakukan pukul 05.30. AH! Aku kecewa sekali ditolak panitia dengan sikap yang tidak ramah tadi. 😦
Gitu deh, Diary, aku sedih. Kadang, mau beramal ada aja halangannya, ya. :’|
Kakak
Percakapan saya dan Cindy (6 tahun), anak rekan guru, dalam mobil ortunya yang mengantar saya pulang seusai acara sekolah.
Cindy: Kakak rumahnya di mana?
Saya: (senyum girang dipanggil kakak) Dekat sekolah Binus.
Cindy: Kalo ke sekolah tinggal jalan kaki ya?
Saya: Iya, dekat banget sih.
Cindy: Kakak di Binus jadi guru apa murid?
Saya: (senyum girang dan bahagia, hampir lupa menjawab) Oh. Jadi guru.
Cindy: (bengong sambil mengamati saya yang senyum-senyum terus)
😀
Guru Kontrak
Tanggal 2 Mei, hari pendidikan kemarin, saya menangis karena gagal jadi guru tetap di sekolah yang sudah saya jalani selama dua tahun terakhir. Saya gagal lolos seleksi yang modelnya seperti persentase Ujian Nasional yang sering saya gugat itu. Sedih.
Namun, seorang orang tua murid mendukung saya untuk terus bekerja di sana, tanpa perlu melihat status. Kenapa? Karena ternyata murid-murid membutuhkan saya. Testimoni mereka yang menguatkan saya bahwa saya adalah guru yang cukup baik dan menyenangkan.
Meski keadilan tetap harus dipertanyakan, tetapi hidup mesti tetap dijalani, kan? Sekarang 4 Mei, saya ulang tahun. Banyak doa datang dari murid. Saya aminkan semua, semoga saya bisa bekerja dan belajar untuk mereka dengan bahagia.
Kamu Guru Hebat? Ceritakan!
Saya deg-degan. Tangan saya bergetar. Memegang mic tidak menyelamatkan. Saya tidak ingin menyampaikan ke hadirin Bincang Edukasi 14 kemarin bahwa saya deg-degan. Sebab, dua pembicara sebelumnya, Lestia Primayanti dan Yosea Kurnianto sudah mengatakan itu juga. Jadi saya simpan saja dan sok asyik mulai menyampaikan materi saya pagi itu: Drama sebagai proses pembelajaran sastra.
Biasanya saya tak pernah ragu menyampaikan segala perasaan saya di kelas. Di depan murid, saya tak menutupi jika sedang merasa cemas, galau, atau senang yang terlalu. Saya pernah mendengar ada guru yang mengatakan jangan terlalu membawa perasaan pribadi dalam kelas. Murid bisa tidak menghormati. Justru menurut saya, perasaan adalah hal penting dan sangat mendukung dalam proses belajar. Apalagi pelajaran sastra.
Sastra itu hidup. Di kelas sastra, murid dan guru bersama mempelajari hidup yang tentu saja penuh dengan segala rasa. Perasaan itulah yang digali, perasaan diri sendiri terhadap satu masalah hidup, kemudian nanti memahami perasaan orang lain atas masalah hidup lain. Karena itulah, saya membiarkan murid mengetahui perasaan saya di kelas dan saya pun ingin tahu perasaan murid di kelas. Kami menggali perasaan terhadap buku-buku sastra yang kami baca. Kami merasakan hidup.
Lalu di acara Bincang Edukasi itu, kenapa saya menutupi rasa cemas saya? Mungkin saya grogi sebab ada banyak guru-guru hebat di sana. Mungkin juga saya malu, merasa belum jadi apa-apa. Rupanya kecemasan saya ditampar oleh materi presentan berikutnya, Dedi Dwitagama.
Kata Pak Dedi, guru hebat itu sedikit. Guru hebat yang berani menunjukkan diri lebih sedikit lagi. Saya kemudian bertanya-tanya, siapa yang bisa melabeli seseorang itu hebat? Lalu, apa saya sudah bisa dikatakan hebat? Saya curiga kegugupan saya tadi sebab saya tidak percaya diri bahwa saya pun hebat.
Seharusnya, kita mempunyai kesadaran diri pada apa yang kita capai. Seharusnya, kita meyakini bahwa pencapaian itu baik untuk kita, juga untuk orang lain. Sadar bahwa diri hebat memang bisa mencemplungkan diri pada kesombongan. Kemudian ketika kita bercerita apa saja prestasi yang kita capai, orang bisa nyinyir mengatakan bahwa itu pamer. Namun, di sisi lain, berbagi cerita tentang prestasi bisa juga menginspirasi orang lain. Mana tahu jika kisah hebat kita bisa membuat orang lain ingin melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih hebat.
Saran dari Pak Dedi sebagian sudah saya lakukan. Buatlah blog, ceritakan apa hal menarik yang terjadi di kelas. Berbagilah cerita pelajaran baik yang muncul saat belajar. Yang masih harus dicoba: Sebarkan prestasi dirimu di banyak kesempatan, dan percayalah bahwa itu bisa memberi semangat pada guru lain. Kesimpulannya, kalau kamu guru hebat, maka ceritakan!