Pindah ke arnellis.com ya!

Hai, teman pembaca. Aku sudah pindah ke website arnellis.com ya. Silakan baca tulisan terbaruku di sana. 🙂

 

Kata Siswa tentang Marxisme dalam Novel Atheis

Sekali lagi tahun ini saya dan murid kelas 10 memakai novel Atheis untuk diskusi sastra. Dalam satu kutipan di novel karya Achdiat Karta Mihardja itu, tokoh Rusli mengatakan seperti ini:

“Dan kiasan yang diambil oleh Marx itu tidak kurang tepatnya ialah Tuhan itu (atau persisnya Marx itu bilang ‘agama’), bahwa agama itu adalah madat bagi manusia. Apa itu artinya?”

Itu tiada lain artinya ialah bahwa seperti halnya dengan madat, Tuhan atau agama itu adalah satu sumber pelipur hati bagi orang-orang yang berada dalam kesengsaraan dan kesusahan. Suatu sumber untuk melupakan segala kesedihan dan penderitaan dalam dunia yang tidak sempurna ini. Sesungguhnya janganlah kita lupakan bahwa (seperti tempo hari saya uraikan kepada Saudara,) agama dan Tuhan adalah hasil atau akibat dari sesuatu masyarakat yang tidak sempurna, tegasnya ciptaan atau bikinan manusia juga. Manusia dalam keadaan serba kekurangan.”  (Atheis, hlm. 108-109)

Pernah saya dan murid-murid mendiskusikan hal ini di kelas. Beberapa masih bingung dengan mengapa agama disamakan dengan madat atau candu. Mengapa agama bisa bersifat adiktif? Beberapa dari mereka ada juga yang sudah mengerti dan membantah konsep marxisme di sini. Ya, saya akui memang kami tidak membaca buku Karl Marx secara khusus untuk memahami konsep marxisme (Ini PR kami semua! #crossheart). Makanya wajar jika masih banyak murid yang bingung, apalagi untuk mereka yang belum terbiasa membaca novel.

Menyenangkannya adalah, banyak juga murid yang bisa menyampaikan pendapat mereka, baik setuju atau tidak setuju pada kutipan tersebut. Yang saya suka adalah bahwa pendapat mereka begitu dekat mencirikan remaja. Ini dua contoh dari mereka. 🙂

jonathan

Jonathan Julian, 2016

 

karina

Karina Viella Darminto, 2016

Pertama Kali Bertemu Anies Baswedan

Sebetulnya yang mau aku ceritakan sekarang bukan pertemuan yang pertama. Dulu tahun 2012, aku sudah pernah bertemu Pak Anies di kantor Indonesia Mengajar. Seingatku, aku di sana untuk rapat Kelas Inspirasi pertama. Tiba-tiba Mas Hikmat Hardono memanggilku ke ruang sebelah, ada Pak Anies di sana. Ya, lalu kami bersalaman, menukar sedikit informasi bahwa aku guru lalala… Lalu sudah, begitu saja.

Berikutnya, kalau pun bertemu lagi hanya bisa melihat dari kejauhan. Maklum, fans beliau ini buanyak. Apalagi setelah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014-2016), makin seringlah dia dikerubuti banyak orang.

Nah, aku cerita pertemuan kedua ya. Ada bagian rahasia serunya. Jadi gini…

photo (1)

Jumat, 26 Agustus, aku nonton pentas teater Bunga Penutup Abad di Gedung Kesenian Jakarta. Aku duduk di barisan A, paling depan. Makanya aku bisa dapat gambar di atas. Usai acara, seperti biasa, banyak orang menyerbu ke arah panggung. Mencoba ingin bersalaman dengan artis. Aku kejar Mbak Astuti Ananta Toer, menyapa dan menanyakan kabarnya, lalu juga minta foto bersama. Setelah itu, aku lihat ada Mas Kreshna Aditya di atas panggung. Menunggu Pak Anies sepertinya. Aku hampiri dan sapa dia.

Nah, lalu Mas Kreshna bercerita satu rahasia. Kira-kira dialognya begini…  “Kamu tahu kan, Anies diminta tampil untuk acara Teras Budaya: Merayakan Chairil Anwar yang diselenggarakan Tempo, 15 Agustus 2016 lalu. Nah, saat butuh referensi bagaimana cara membaca puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”, aku carikan contoh video di youtube. Lalu, ketemu video kamu. Lalu, Pak Anies belajar lewat video kamu itu.”

Aku saja hampir lupa, aku pernah baca puisi itu dan kuposting di youtube. Hihi, video yang diproduksi zaman jomblo (Sudah seharusnya jomblo itu berkreasi dan berproduksi). Lihat sendiri deh di sini:  https://www.youtube.com/watch?v=xFy05ttEkiw

Aku yang tadinya nggak niat khusus menyapa (maklum, malas rebutan dengan hadirin dan wartawan sudah antre mau wawancara dia), langsung jadi kepikiran untuk mengkonfirmasi cerita Mas Kreshna tadi. Begitu ada kesempatan, langsung kusamber.

photo 1

Aku tanya kebenaran cerita Mas Kreshna ke beliau.

“Beneran, Pak?”

“Ya, yang itu: Yang Terampas dan Yang Putus.”

Aku cuma bisa cengengesan.

Dia lalu tambahkan, “You inspire me.”

Parah, ini Bapak emang paling jago bikin orang ge-er, pikirku.

Karena situasi semakin ramai, banyak yang ajak dia salaman dan berfoto juga. Ya sudah aku juga sekalian minta foto. Lalu aku pulang. Di perjalanan aku terkagum-kagum:    Benar bahwa kita bisa belajar dari siapa pun. Yang tua pun bisa belajar dari yang muda. Tak perlu ada malu, malah memuji tak perlu ragu. 

photo 2

*Foto 2 & 3 oleh Kreshna Aditya

Seujung Kuku Guru Zirah

Pada suatu hari saya membagi info tentang  lomba video pendek dari Kemdikbud. Saya share di Twitter dan Line. Murid-murid biasanya lebih update di Line sih, jadi saya post begini di timeline.

 
Ada yang memberi jempol, cuma satu orang. Ada juga yang nulis komen. Eeh komennya macam begini. 

  
Haduhh… PLZ… Canda aja nih!

Sebetulnya normal banget ya murid laki-laki “menggoda” guru perempuannya. Remaja ya umurnya puber, lagi belajar menarik perhatian lawan jenis. Bosan menggoda teman seumuran, kadang mereka menguji diri, bisa nggak atau berani nggak menggoda wanita dewasa. Bentuknya bisa sekadar bercanda sederhana, tapi bisa juga kelepasan jadi serius. Pernah dengar kan ada murid yang serius ‘nembak’ gurunya?

Pertanyaannya kemudian, kok bisa sih mereka berani menggoda saya? Apa saya seunyu itu? Apa saya seseksi Guru Zirah favorit murid badung macam Iwan Fals? Hehee, nggak lah. Bodi saya nggak montok. Cuma seujung kukunya Zirah.
Buat yang belum tahu lagu “Guru Zirah”, ini liriknya.
Dia cantiknya guru muda kelasku

Zirah namamu asli cangkokan Jawa

Busana biasa saja

Ramping kau punya pinggang



Tahi lalatmu genit nangkring di jidat

Goda batinku kilikitik imanku

Pantatmu aduhai

Bagai salak raksasa



Merah bibirmu bukan polesan pabrik

Mulus kulitmu tak perlu lagi ke salon

Betismu bukan main

Indah bak padi bunting



Tidur pun aku tak nyenyak

Sebelum aku sebutkan

Namamu

Guru Zirah bodi montok



Rasanya ingin punya bank

Tuk traktir engkau seorang

Impianku

Guru Zirah bodi montok



Baru melihat kaki ibu melangkah

Hati di dalam dag dig dug mirip beduk

Apalagi he he he

Tak kan kuat ku berdiri


Zirah guruku ibu manis bak permen

Berilah les privat agar otakku paten

Hadiahku tas plastik

Boleh pesan di butik


Tidur pun aku tak nyenyak

Sebelum aku sebutkan

Namamu

Guru Zirah bodi montok
Rasanya ingin punya bank

Tuk traktir engkau seorang

Impianku

Guru Zirah VeWe Kodok



Kalau setuju kita bolos sehari

Bohong sedikit mungkin Tuhan tak marah

Asmara tak bedakan

Aku murid kau guru


Kebun binatang lokasi yang ideal

Murah meriah ongkos buat pacaran

Ku tahu gaji ibu

Hanya cukup untuk beli tahu


Tidur pun aku tak nyenyak

Sebelum aku sebutkan

Namamu

Guru Zirah bodi montok

Pertama Kali Bertemu Soesilo Toer

Satu setengah jam, dari pukul setengah tiga sampai empat sore, tanggal 30 Juni 2016, aku ngobrol dengan adik Pramoedya Ananta Toer itu. Aku tidak mengira akan bertemu dengannya. Ceritanya aku hanya ingin ikut saudara yang mengantar mebel pesanan ke Blora. Kebetulan memang aku sedang mudik di Jepara. Lalu aku ingat, di Blora ada Pataba, dan kuminta pada suamiku untuk mampir ke sana. Tanya suamiku, “Apa itu?” “Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa.”

IMG_8504

Satu lagi yang tidak kukira adalah kondisi Pataba itu. Sesampainya di Jalan Sumbawa Jetis, aku mencari nomor 40, seperti informasi yang kudapat di internet. Tapi mobilku nyasar sedikit ke Jalan Halmahera sampai depan SMPN 5. Rupanya rumah Pataba itu letaknya di siku jalan, mojok. Kelak aku tahu, lokasinya jadi semacam lelucon satir. Rumahnya di pojok, persis seperti penghuninya yang sering dipojokkan.

Pagar rumah pojokan itu miring, daunnya dikait dengan seutas tali. Ragu aku dan suamiku melangkah masuk, menyintas halaman tanah berumput yang kurang terawat baik. Sepi sekali. Kami menuju rumah lumayan besar yang terasnya terbuat dari tempelan berbagai jenis potongan keramik itu. Teras kecil itu berhias banyak butiran hitam. Tahi. Lalu datanglah pemiliknya, tiga ekor kambing besar, yang dari gelagatnya seperti ingin ngusel. Sementara aku kaget-kaget-takut, suamiku berinisiatif menyeru salam beberapa kali, sampai kemudian pintu rumah dibuka. Seorang lelaki tua menyambut ramah. Brewoknya putih memenuhi separuh wajah. Ia berpakaian batik gombrong dan sarung yang sama gombrongnya. Kami bersalaman dan dia menyebut namanya: Soesilo.

Tadinya aku mengira akan menemui orang lain, semacam pengurus khusus yang mengelola perpus itu. Tapi aku beruntung, ketemu langsung dengan Pak Soesilo. Pataba memang perpus liar, diurus sendiri oleh keluarga Toer yang tersisa. Ya, Pak Soesilo Toer inilah yang kini mengurusnya, bersama anak dan istri yang menempati rumah itu. Oh ya, rumah itu adalah milik mendiang Mastoer, orang tuanya, direktur Institut Boedi Oetomo di Blora tahun 1920an. Sudah pernah direnovasi, tidak seburuk yang pernah diceritakan Pram dalam novel Bukan Pasar Malam. Tapi tidak juga lantas menjadi sangat bagus, karena Pak Soesilo kemudian bercerita sejumlah kendala dan intrik keluarga yang menceritakan tentang renovasi rumah itu. Katanya, Pram, Koesalah, dan dirinya memang ingin membangun perpustakaan di rumah peninggalan Mastoer itu. Pram ingin bangunan itu ditingkat tiga. Agar muat menyimpan koleksi buku, dan bisa dibuat tempat berbagai acara sastra dan budaya. Adik-adiknya mendukung, tapi rupanya ada kendala keluarga lain. Akhirnya sampai Pram meninggal tahun 2006, bangunan hanya direnovasi seadanya. Niat membuat perpus tetap dijalankan. Bangunan dapur samping rumah dijadikan awal mulanya.

 

IMG_8521

Di ruangan inilah aku bertamu. Pintunya berat dan hanya bisa terbuka sedikit. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Ada buku-buku bertumpuk di meja dan kursi. Dinding penuh dengan foto dan gambar tokoh dalam pigura. Eh, si kambing rupanya mengikutiku. Kepalanya melongok masuk dari pintu. Pak Soesilo santai saja. Suamiku akhirnya menutup pintu, takut kambing masuk dan memakan buku. Pak Soesilo malah tertawa, menunjukkan contoh lembaran kertas yang robek separuh, dimakan kambing itu katanya.

IMG_8524

Soesilo Toer ini pendongeng. Usianya hampir 80 tahun, tapi tetap ceriwis sekali bercerita macam-macam, menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Ngobrol santai itu seolah tanpa jeda. Karena memang asyik sekali. Ada banyak ‘rahasia keluarga’ yang ia bagikan cuma-cuma. Cerita ia di Rusia dan dapat gelar Phd di sana, pacaran dengan cewek bule (sama seperti Pram ini ya), cerita kanker prostat yang dialaminya (juga dialami Pram), cerita perlakuan tetangga dan warga pada keluarga, juga cerita tentang saudara dan anak Pram lainnya. Dia juga bertanya, ”Kamu tahu, Pram itu mati terbunuh, dibunuh, atau bunuh diri?” Gila, kataku dalam hati. Aku buru-buru menggeleng sambil menanti jawaban. Dia pun menceritakan “apa” yang terjadi dari sudut pandangnya. Aku terlongo-longo. Sempat aku merasa, ini kisah teramat sensitif, kok bisa-bisanya ia membaginya denganku? Oh, rupanya ia juga sudah menyajikannya dalam buku Pram dari Dalam. Berarti ia ingin banyak orang mengetahui kebenarannya, setidaknya dari sudut pandang dia. “Semua sudah saya tulis di situ,” katanya.

IMG_8555

Akhirnya aku memborong lima seri kisah Pram yang ditulisnya. Bonus dua buku tambahan. Juga kuminta ia menerakan tanda tangan di tiap buku. Lalu aku sadar, aku belum menyebutkan namaku sejak tadi.

“Namaku Arnellis, Pak.”
“Annelies?”
“Arnellis, pakai r. Bapakku takut kalau namanya terlalu sama dengan Annelies. Hehee…”
“Itu Annelies,” katanya menunjuk sebuah lukisan di atas kepalaku. Aku melongok dan menemukan gambar cat, seorang perempuan yang tak segera terlihat cantik.
“Lalu, ini mau ditandatangani kepada siapa? Annelies saja ya?”
“Eh, jangan ah, Arnellis saja, pakai r…”
“Oh… ya sudah.”

Tak lupa aku mengajaknya berfoto. Kuminta juga untuk bertemu dengan anaknya yang sejak tadi disebutnya bernama Benee Santoso. Begitu keluar, rupanya ia seorang pemuda 20-an yang ganteng-ganteng-kalem. Kami berfoto di ruangan itu, juga di teras.

IMG_8540

Lalu, kami mampir juga masuk ke ruang rumah utama. Buku yang baru dicetak Pataba ditaruh di situ. Foto-foto menghias dinding dan buku-buku terjejer di rak. Tadi sempat kutanya pada Pak Soesilo, kenapa tidak minta bantuan anak mahasiswa jurusan perpus, bantu merapikan dan mengkatalog. Jawabnya “Biar diurus sendiri saja, biar tetap jadi perpustakaan liar, hehe…” Sama saja seperti Pram, keras kepala betul, kupikir. Tapi kemudian ia menambahkan, bahwa ia nantinya akan menghibahkan bangunan dan perpus ini kepada pemerintah. Jika ditaksir, ada seharga 30 miliar lebih. “Tak usahlah ada warisan untuk keluarga, biar ini jadi warisan untuk negara.”

IMG_8547

Agak sulit menyudahi pertemuan itu, tapi aku harus kembali pulang ke Jepara. Pak Soesilo dan Benee mengantar kami ke pagar. Menyesali kami yang belum sempat mencoba sate Blora. Sambil memastikan kami masuk mobil, ia menunjukkan rute jalan pulang. “Sehat-sehat terus ya, Pak, nanti aku mampir lagi,” kataku. “Ya… terima kasih,” sahutnya sambil melambaikan tangan.

 

foto: Heru Rudiyanto

 

Ga Baper

photo (11)

Belajar Lagi dari Ahmad Tohari

SAM_1148

Agak sulit saya menulis cerita panjang tentang pengalaman memandu acara Author Talk tanggal 1 Juni lalu. Itu hari yang terlalu menyenangkan. Jelas saja, bisa berbincang kembali dengan Ahmad Tohari yang terkemas dalam acara sekolah yang asyik. Jadi, yang akan saya bagi di sini adalah kesan-kesan utama saja.

Saya membuka sesi Bincang Pengarang itu dengan kalimat, “Terakhir kita mengobrol seperti ini tahun 2007 ya Pak, waktu saya nulis skripsi (Sensor Atas Karya Sastra). Sekarang, bahagia sekali saya bisa membawa Bapak untuk mengobrol santai lagi, tidak hanya dengan saya, tetapi juga dengan murid-murid saya…”

Saya lalu bercerita bahwa malam sebelumnya (31/5), kami (Heny, Roys, saya) menjemput Pak Tohari di Bentara Budaya Jakarta. Kami tidak tahu bahwa malam itu ada acara Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015. Kami juga tidak tahu bahwa cerpen pemenangnya adalah “Anak Itu Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari. Acara belum usai, ia justru buru-buru pulang dari acara dan ikut kami pulang ke Serpong. Saya tanya, “Mengapa Pak? Padahal Bapak bintangnya malam itu.” Beliau menjawab sederhana, “Saya sudah membuat janji dengan kalian akan menuju Serpong jam 9 malam. Ya, saya harus penuhi janji saya.” Teringat piala patung Nyoman Nuarta yang terbungkus kardus di jok belakang mobil jemputan saya malam itu, saya kembali mengejar, “Lalu, seberapa penting sebuah penghargaan untuk Bapak?” Jawabnya, “Saya tidak mengejar penghargaan. Tugas saya menulis. Jika kemudian ada yang memberi penghargaan, tentu saya apresiasi.”

Sebelumnya, acara sudah dimulai dengan pementasan drama fragmen novel Ronggeng Dukuh Paruk oleh kelas 11. Saya duduk di sebelah Pak Tohari persis, jadi saya bisa lihat dia senyum, tertawa pada adegan yang lucu, dan juga saat dia dua kali mengambil tisu untuk mengusap haru di matanya.

 

SAM_1054

Setelah pentas drama itu selesai, Pak Tohari dengan sigap langsung menuju panggung dan mengajak para pemain berfoto. Lalu, dia menghampiri para pemain, menyalaminya satu persatu dengan hangat.

SAM_1121

Kembali lagi ke sesi tanya jawab. Setelah menjawab satu dua, Pak Tohari memutuskan untuk berdiri. Penonton bertepuk karenanya. Mungkin Pak Tohari merasa ucapannya akan lebih terasa jika disampaikan dengan penuh karib. Ada banyak yang dia sampaikan, beberapa tentang hal-hal yang sudah saya ketahui sebelumnya dari wawancara dulu dan beberapa literatur. Satu yang sangat saya suka hari itu, dia mengajak murid (dan juga guru atau siapapun) untuk mulai menulis. Katanya: Tulislah kisah cinta yang cengeng, tidak apa-apa… Tulislah puisi cengeng, tidak apa-apa… Yang penting kamu mulai menulis…

 

SAM_1175

Malam sebelumnya, saya bilang padanya, besok ada sesi tanda tangan. Kalau Bapak nanti lelah, mungkin cukup beberapa buku saja. Saya bisa buatkan kuis, pemenangnya boleh minta tanda tangan Bapak. Namun, dia langsung jawab, tidak… saya akan tanda tangani semua bukunya selama saya bisa. Dan benar saja, setumpuk buku milik murid dan guru ludes dia tanda tangani semuanya.

SAM_1189

Ya, begitulah. Saya belajar banyak lagi dari lelaki ini. Seorang sederhana yang tak membela siapapun selain rasa kemanusiaan, ajaran Tuhan yang paling hakiki.

 

Hadiah dari Aya

Sudah lewat beberapa hari dari 4 Mei, eh masih ada kejutan datang.

Ini dari Anindya Putri Pramadi, muridku di kelas 10D. Doanya manis betul. ❤

photo (9)

Cerita 4 Mei Tahun Ini

Seumur-umur belum pernah merasa sedih saat ulang tahun. Meskipun nggak pernah selalu ada acara khusus, tanggal ultah biasanya aku sambut bahagia. Selalu ada aja keluarga, kumpulan teman, atau murid satu kelas yang membuat tanggal itu jadi raya.

Tahun ini beda. Rasa sedih mulai menekan sejak awal bulan. Entah, rasanya kali ini benar-benar baru melepas masa remaja. Bhay 30, welcome 31. Ada banyak ketakutan dan kecemasan yang datang. Ada banyak keinginan yang dibarengi penderitaan. Ngerti sih teorinya, hidup harus dibawa bersyukur, harus banyak ikhlas, harus banyak bahagia di pikiran, tapi… melaksanakan segala teori itu tidak mudah. Oke, niat bisa kencang di hari ultah, tapi membuatnya kencang sepanjang tahun berjalan itu yang susah.

Lalu, pagi tanggal 3 Mei, aku dipeluk suami. Dia tanya aku mau apa buat ultah besok. Aku cuma bisa jawab dengan tangis. Pagi itu aku datang bulan lagi. Kami berdoa dalam hati masing-masing, dan ditutup dengan ucapannya, “Sabar ya…”

Lalu, pagi ini tanggal 4 Mei. Haru datang lagi ketika buka Fb notifikasi, ada pesan dari murid alumni di negeri seberang. Pengingat lagi bahwa Bapak pernah kasih aku nama sekeren ini.

photo (1)

Lalu subuh pesan singkat dari Bapak datang. “Mengenang peristiwa anak manusia yang lahir di dunia sekarang sudah dewasa. Selamat semoga sehat, selalu murah rizki, doa orang tua selalu mengiringi.” Tangis pecah lagi. Setelah dapat pengingat-pengingat itu, aku yang tadinya mau break berobat kandungan yang sudah jalan dua tahun ini, jadi kembali yakin untuk meneruskan. Oke, sore nanti datang ke dokter obgyn lagi.

Lalu, pagi ini, di ruang kantor guru, nangis lagi ketika ada rekan departemen Bahasa Indonesia yang mengucapkan selamat ulang tahun. Nangis yang beneran nangis! Mereka bingung karena aku dikenal tukang nyengir di sekolah. Sampai akhirnya dipeluk seorang guru Biologi perempuan, yang kepadanya aku harus bercerita dan berguru, bagaimana bisa tegar dan tabah menghadapi hasrat punya bayi. Yeah, hari melodrama.

Lalu, begitu sampai kelas untuk CA time (jam wali kelas), ruang kelas gelap, tidak ada satu pun muridku di sana. Ah, becanda nih. Emang masih jaman ya bikin surprise yang bikin kesel orang yang lagi ultah? Sampai aku kirim pesan di grup line: “I have bad day and you all make it worst.” KZL!  Lalu aku balik ke ruang guru, dan mereka mengejar. Takut takut ketuk pintu, dan ternyata satu kelas datang bawa kue berlilin dan bunga. Ya lalu nangisku kembali PETJAH!  Gemes-gemes gimana gitu lho. Mengutip apa kata salah satu murid paling ndregil, “sebandel-bandelnya kita, masih inget dong kapan tanggal ultah CA (wali kelas)nya!”  Iya, iya, bisaan. :’)

photo (6)

Bunga dari muridku, Rayi, dan pantun nasi uduk. 😀

Itu tadi tangis ke berapa ya? Setelah itu badan capek banget. Kayak habis olahraga, lari pagi keliling kampung Lengkong Karya. Tapi hari ini masih panjang. Tahun ini juga masih panjang. Semoga semangat “HAPPY” di kata happy birthday itu selalu ada. ❤

photo 1 (9)

Kue dari murid kelas 10D, yang langsung dicomot-comotin coklatnya. “Kenapa angkanya 1?” tanyaku. Jawab Tika, “Itu tanda 1 tahun kita bersama…” #eaaa #baper

photo 2 (8)

Ini nih kelas 10D yang sok mau kasih kejutan tapi malah bikin baper. Tapi siangnya aku udah ketawa-ketawa lagi sih. :))

photo (7)

Kado dari departemen Bahasa Indonesia HS. Isinya Soe Hok Gie banget. Harus ke gunung segera!                                                      “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah.”      -Gie

 

 

 

Sekali lagi, Belajar Menari dari Youtube

Awalnya mau belajar menari Wira Pertiwi adalah karena permintaan. Ada acara Archery Competition di sekolah tengah bulan Februari, dan PIC acaranya meminta saya untuk mengisi pembukaan dengan tarian tradisional. Ya, karena acaranya lomba panah, makanya saya cari tarian yang pakai properti panah. Di Youtube saya nemu video tari Wira Pertiwi ini di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=SuMPEAxP9cA. Sekali lihat langsung jatuh cinta. Gerakan srikandi pemanah di video itu bagus banget! Benar-benar menggambarkan seorang wira (pahlawan) yang seorang pertiwi (perempuan) yang tegas, sigap, berani, mengamankan keraton Jawa dari marabahaya. Tari Wira Pertiwi ini adalah tari kreasi Bagong Kussudiardja, dan video yang saya sebut tadi dibuat di Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja Jogjakarta. Pas sudah, video ini saya pakai buat acuan belajar.

Akan tetapiii, acara Archery Competition itu tidak jadi menyiapkan slot pembukaan pakai tarian tradisional. Sedih juga, padahal niat belajarnya sudah kenceng banget, dan sudah jalan dua minggu latihan sendiri di rumah. Step by step saya tiru langkah penari di video itu. Sambil membayang-bayangkan setiap malam sebelum tidur. Sampai akhirnya saya hapal. Again, the power of visual learning. Thanks, Youtube!

Untungnya bulan April ada acara Indonesian Cultural Week, yang kebetulan tahun ini diadakan tanggal 21 April, pas di Hari Kartini. Jadinya saya ajukan saja ke panitia, saya mau ajak guru-guru menarikan Wira Pertiwi ini. Kenapa bukan ajak siswa? Karena untuk siswa, saya ada project lain, ethnic hiphop dance namanya.

Oke, latihan dimulai dan tantangan datang. Tantangan kali ini ada dua. Pertama, ini tarian Jawa yang di mata saya kayaknya susah banget. Ya itu tadi, harus bisa gagah seperti jagoan panah, sekaligus lembut juga seperti perempuan anggun. Benar-benar saya cuma bisa mengandalkan Youtube karena memang tidak ada budget untuk sewa pelatih tari. Sekaligus saya harus mengajarkan gerakan ke guru-guru lainnya. Padahal saya juga baru belajar sebulan sebelumnya.

Tantangan kedua adalah partner nari kali ini adalah ibu-ibu yang awam menari. Tapi buat saya yang penting mereka punya NIAT BELAJAR. Itu pasti bisa mengalahkan segalanya. Ekspektasi dibuat sederhana, yaitu kami semua hapal gerakan dan mengikuti pola lantai yang rapi. Saya yakin pasti bisa! Lagian ternyata proses belajarnya menyenangkan banget. Miss Diona yang guru biologi aktif bertanya dan aktif ngajak berlatih, bahkan beli panah mainan bocah buat properti latihan. Miss Emma yang guru matematika suka pakai hitungan, tidak ragu bertanya dan konfirmasi. Sementara Miss Retno yang guru fisika lebih seru lagi. Dia sangat suka pakai hitungan di setiap gerakan, plus dia orang yang sulit membedakan kanan dan kiri. Kebayang kan, gimana rempongnya kami saat latihan. :))

Rempong berikutnya adalah tentang kostum. Kami semua berkerudung jadi kami akhirnya beli kerudung jaring untuk hiasan kepala. Biar gampang juga ditusuk konde dan hiasan bunga. Sementara kostum, kan itu all size ya, jadinya yaa dipas-pasin dengan beragam ukuran tubuh kami. Yang tinggi seperti Diona jadinya celananya ngatung. Miss Emma juga tinggi, dan dia nggak mau kakinya terlihat, jadinya dia pakai manset. Miss Retno dan saya, hmm kami mengandalkan korset dan slimming suit. :))

Harinya tiba, dan seperti inilah kami bergaya.

photo (5) (Kiri-kanan) Bawah: Miss Emma, Miss Diona. Atas: Miss Retno, saya.

 

DSC_1145

Ini foto saat pentas di hall sekolah. Menurut penonton sih, cakep kelihatannya. 😀

Kalau mau lihat videonya, bisa diklik di sini: wira pertiwi 1

Yang kualitas videonya lebih bagus, waktu menarikan ini di acara wisuda kelas 12 tanggal 23 April. Nah, videonya ada di sini: wira pertiwi 2