Category Archives: buku

Kata Siswa tentang Marxisme dalam Novel Atheis

Sekali lagi tahun ini saya dan murid kelas 10 memakai novel Atheis untuk diskusi sastra. Dalam satu kutipan di novel karya Achdiat Karta Mihardja itu, tokoh Rusli mengatakan seperti ini:

“Dan kiasan yang diambil oleh Marx itu tidak kurang tepatnya ialah Tuhan itu (atau persisnya Marx itu bilang ‘agama’), bahwa agama itu adalah madat bagi manusia. Apa itu artinya?”

Itu tiada lain artinya ialah bahwa seperti halnya dengan madat, Tuhan atau agama itu adalah satu sumber pelipur hati bagi orang-orang yang berada dalam kesengsaraan dan kesusahan. Suatu sumber untuk melupakan segala kesedihan dan penderitaan dalam dunia yang tidak sempurna ini. Sesungguhnya janganlah kita lupakan bahwa (seperti tempo hari saya uraikan kepada Saudara,) agama dan Tuhan adalah hasil atau akibat dari sesuatu masyarakat yang tidak sempurna, tegasnya ciptaan atau bikinan manusia juga. Manusia dalam keadaan serba kekurangan.”  (Atheis, hlm. 108-109)

Pernah saya dan murid-murid mendiskusikan hal ini di kelas. Beberapa masih bingung dengan mengapa agama disamakan dengan madat atau candu. Mengapa agama bisa bersifat adiktif? Beberapa dari mereka ada juga yang sudah mengerti dan membantah konsep marxisme di sini. Ya, saya akui memang kami tidak membaca buku Karl Marx secara khusus untuk memahami konsep marxisme (Ini PR kami semua! #crossheart). Makanya wajar jika masih banyak murid yang bingung, apalagi untuk mereka yang belum terbiasa membaca novel.

Menyenangkannya adalah, banyak juga murid yang bisa menyampaikan pendapat mereka, baik setuju atau tidak setuju pada kutipan tersebut. Yang saya suka adalah bahwa pendapat mereka begitu dekat mencirikan remaja. Ini dua contoh dari mereka. 🙂

jonathan

Jonathan Julian, 2016

 

karina

Karina Viella Darminto, 2016

Memahami Badai di In The Eye of The Storm

Saya ingat, pertama kali mengenal Brilliant Yotenega pada tengah tahun 2011 di Obsat. Ia terlihat sebagai orang yang tenang dan percaya diri. Saya diberitahu teman bahwa ia mendirikan nulisbuku.com, sebuah perusahaan online selfpublishing. Ia tampak tertarik dengan saya. Dugaan saya, karena dia tahu saya guru yang tentunya punya banyak murid, saya berpeluang untuk bekerja sama dengannya terkait penulisan buku. Namun, rupanya ada hal menarik lain yang membuatnya tersenyum terus. Ada nama anaknya dalam nama saya: Arne.

Sejak itu sesekali kami berbincang di chat media, membicarakan kemungkinan penerbitan buku untuk murid saya. Sayang, sampai sekarang belum juga terwujud. Lalu tiba-tiba 2013 ini, saya lihat di twitter, Ega (begitu ia biasa disapa) menerbitkan buku. Segera saya kontak, ingin memiliki buku itu. Rupanya memang ia begitu baik, ia malah memberikan cuma-cuma pada saya.

In The Eye of The Storm rupanya adalah kisah hidup Ega, persisnya kisah kebangkrutannya. Membaca buku kecil ini cukup menyenangkan rasanya. Saya kan tak tahu banyak tentang Ega, jadi membaca buku ini rasanya seperti dipercayakan untuk mendengar curhat Ega langsung. Persis dalam sekali pertemuan, saya jadi tahu badai apa yang menyulitkan hidup Ega di awal pernikahannya.

Mulanya saya merasa, di buku ini Ega agak melebih-lebihkan penderitaan yang ia alami. Di awal menikah, ia bangkrut dan jadi pengangguran. Tapi ia masih punya mobil, masih bisa sewa kos 2,1 juta per bulan. Info itu sontak mengganggu saya. Menurut saya itu belum menderita amat. Saya yang tak punya mobil dan sewa kos sepertiga uang kos Ega, masih tidak merasa menderita. Sekarang pun saya sedang di masa awal pernikahan, dan suami saya tidak bekerja formal di kantor.

Saya tuntaskan buku itu. Lalu saya merenung. Hei, setiap orang kan punya penderitaan masing-masing. Badai hidup tiap orang tidak sama besarnya. Buat Ega, badai itu memakan hidupnya dengan lumat. Buat saya, ada juga badai besar, yang mungkin tidak seberapa bagi orang lain. Ega dan saya masih beruntung, masih bisa makan dan punya fasilitas hidup lumayan. Sementara itu, masih banyak orang lain yang mengalami badai yang teramat parah, terlalu parah.

Buku ini mengajak saya berpikir lagi. Menceritakan badai hidup kita rupanya bisa jadi berguna untuk orang lain. Meski berat rasanya berbagi kisah sedih. Seperti kata Ega di awal buku: “Ini adalah sebuah kisah yang tidak mampu saya ceritakan sebelumnya.” Namun sesudah badai itu berlalu, kita bisa membaginya, mengambil pelajaran darinya.

Ega menaruh kutipan-kutipan menarik di tiap bab buku ini. Satu yang menarik ada di akhir buku, yang membuat saya belajar kembali saat menghadapi hidup yang penuh badai: Sebab ketika aku menjadi lemah, pada saat itulah aku kuat. – St. Paul